Perkembangan dan wacana tentang
dunia perpolitik sampai kapanpun akan selalu menarik untuk di kaji secara lebih
lanjut. Sebab bagaimanapun juga dunia perpolitik merupakan salah satu jalan
yang paling efektif yang biasa digunakan oleh elit penguasa untuk mendapatkan
dan mempertahankan kekuasaan yang lebih tinggi tersebut. Entah perpolitakan
yang digunakan itu melalui politik yang kotor maupun politik yang bersih. Namun
yang jelas dunia perpolitikan selalu menjadi sorotan seluruuh masyarakat dan
dunia publik.
Apalagi bila yang dikaji dan
diperbincangkan terkait dengan berbagai dinamika dan perkembangan politik yang
terjadi di arus bawah (Politik lokal). Tentunya akan mempunyai kesan
tersendiri. Hal ini akan mempunyai daya tarik tersendiri dan unik dibandingkan
dengan membicarakan politik elit pemerintah pusat. Mengingat politik yang
terjadi di arus bawah sepanjang masa pemerintahan otoriter di bawah rezim orde
baru dan reformasi, pemilihan kepala daerah selalu saja dikuasai dan di setting
oleh sekelompok elit Jakarta maupun di daerah-daerah. Sehingga para arus bawah
tidak dapat mengetahui dan mengerti tantang bagaimana proses dan seleksi yang
dilakukan pemerintah pusat.
Memang Sejak proses reformasi
digulirkan delapan tahun terakhir ini, terjadi pergeseran pendulum politik
pasca Orde Baru yang merambah hingga ke ranah politik lokal. Pasca masa Orde
Baru, kondisi dan dinamika politik yang terjadi di arus bawah, sangat tampak
lebih sering sekali menggejolak dan selalu menjadi sorotan dunia Publik.
Keadaan semacam ini setidaknya dapat dijelaskan oleh tiga faktor yang paling
monumental.
Pertama, konflik politik lokal
berpeluang lebar muncul sebagai konflik terbuka, dan tak bisa ditutup-tutupi
lagi, misalnya oleh kekuatan politik tingkat pusat. Sebab pada zaman Orde Baru,
jangankan konflik politik, konflik sosial pun “tidak sampai ke permukaan”. Itu
disebabkan kuatnya “negara” dalam mengontrol segala hal (tetek bengek) urusan
politik dari tingkat lokal hingga nasional, dengan pola kebijakan yang amat
sentralistik. Sehingga memunculkan kebebasan yang belum pernah dialami.
Kedua, akibat ledakan politik
yang belum bisa lepas sepenuhnya dari fenomena eforia. Hakikat berpolitik pun
rata-rata belum bisa dipahami secara benar. Menjadi politisi masih dianggap
sama dengan profesi lain. Mochamad Basuki, misalnya, bahkan terang-terangan
mengatakan, kalau mau kaya jadilah politisi. Tentu saja ungkapan ini agak aneh,
mengingat profesi politisi, berbeda dibanding pengusaha.
Dan yang ketiga, bisa dijelaskan
dengan teori “desentralisasi korupsi”. Meminjam sinyalemen Ketua Indonesian
Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, pasca-Orde Baru, tak hanya struktur
kebijakan sentralistik yang berubah, seiring otonomi daerah (desentralisasi),
tetapi juga pola korupsinya. Bila dulu korupsi terpusat, itu bisa dipilah ke
lingkup “istana” (Cendana), kini polanya menyebar dan merata dari tingkat pusat
dan daerah. Setidaknya lebih ekspresif.
Dalam perjalannya, pergulatan
politik di arus bawah panca otomonomi memiliki banyak persoalan yang cukup
pelik. Hal ini disebabkan karena banyaknya elemen masyarakat yang ingin
menduduku roda kepemimpinan, meskipun dalam ranah arus bawah. Sehingga banyak
menibulkan konflik dan pertumpahan darah yang tak pernah terselesaikan. Ironisnya,
dalam keadaan semacam ini, maka kekuatan dan kekayaanlah yang menentukan.
Meskipun orangnya cerdas dan mempunyai jiwa kepemimpinan serta komitmen yang
tinggi, akan dengan mudahnya tersingkirkan dalam pertarungan. Jika orang
tersebut tidak mempunyai kekayaan untuk menyogok dalam pemilihan tersebut. Dan
hal semacam ini akan tetap saja terus terjadi akibat dari kebebasan yang mereka
miliki.
(Diktat Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal)